Kasus penyerbuan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten, serentak mendapat respon luar biasa dari media. Hampir sepekan pasca kejadian, media cetak maupun elektronik dipenuhi dengan berita kasus tersebut. Banyak pakar dan analis diundang media televisi untuk tampil langsung membahas kasus itu, mulai dari agamawan, kepolisian, anggota dewan, aktivis kemanusiaan, hingga pengamat politik.
Muncul beragam pendapat mengenai kasus tersebut, ada yang mengatakan bahwa kasus itu dikarenakan kurang sigapnya aparat kepolisian yang terkesan membiarkan terjadinya tindak kekerasan. Ada pula yang menyebut, akibat dari SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri yang masih kurang tegas dan terkesan ”banci”. Ada juga yang mensinyalir bahwa kasus itu dikarenakan provokator beberapa orang dari kelompok ormas keagamaan yang sudah lama menginginkan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dibubarkan.
Tentu masih banyak pendapat lain untuk menilai dan mencoba mencari solusi atas kasus tersebut. Namun yang menarik untuk didiskusikan lebih dalam lagi adalah tentang jawaban dari pertanyaan, mengapa penyerbuan anggota JAI itu terulang lagi?. Dengan kata lain, bahwa kejadian di Cikeusik bukan berdiri sendiri, karena jelang sepekan kemudian juga terjadi di Temanggung. Kasus yang dialami anggota JAI itu, hampir terjadi berulang dalam setiap tahunnya, bak kasus tahunan. SETARA Institute mencatat, aksi kekerasan terhadap JAI pada tahun 2007 terjadi 15 kasus, pada tahun 2008 sebanyak 238 kasus, pada 2009 ada 33 kasus. Terjadi di berbagai daerah, seperti Kuningan, Bogor, Tasikmalaya, dan Garut.
Kalau dilihat dari kejadiannya yang berlangsung beulang-ulang, hampir dalam setiap tahunnya, terjadi merata di berbagai daerah, maka dapat dikatakan bahwa menyerbu, menyerang, ngeluruk, menyegel, melempari, membakar, bahkan membunuh adalah sudah menjadi budaya di masyarakat saat ini. Artinya, kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah di masyarakat akar rumput telah menjadi pilihan yang sepertinya absah.
Pernyataan ini tentu tidak berlebihan, apabila dikaitkan dengan beberapa kasus selain JAI. Tidak lama pasca kejadian penyerbuan yang berujuang pembunuhan tiga orang anggota JAI di Cikeusik, Selasa (15/2) Pesantren YAPI di Bangil Pasuruan diserang dan dilempari batu oleh ratusan orang tidak dikenal. Isu yang berkembang, bahwa motiv penyerangan itu ditengarai karena perbedaan paham. Hampir sama dengan kasusnya JAI.
Di luar kasus yang bersifat agama, kita juga dapat melihat kasus-kasus kekerasan yang hampir merata terjadi di semua daerah. Seperti dalam pelaksanaan Pemilukada (Pemilihan Umum Daerah), selalu saja berujung dengan kekerasan fisik antar pendukung calon. Pendukung dari pasangan yang kalah mendatangi KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) menuntut pilihan ulang atau penghitungan ulang karena Pemilukada dianggap curang, dan alasan lain. Kalau tuntutannya tidak dikabulkan KPUD setempat, mereka tidak segan untuk membakar kantor KPUD.
Tidak itu saja, kalau mau jujur, kasus kekerasan akhir-akhir ini kayaknya sudah menjadi budaya bangsa. Mengingat semua domain kehidupan masyarakat sudah akrap dengan budaya kekerasan. Hal itu dapat disaksikan dari seringnya kasus yang berbau kekerasan seperti saling menyerang antara warga desa satu dengan warga desa lainnya, tawuran antar pelajar, tawuran antar seporter sepak bola, bahkan adu jotos juga pernah kita saksikan di gedung dewan yang diperankan anggota dewan yang terhormat.
Beberapa kasus kekerasan di atas, bukanlah sekedar kecelakaan belaka, namun lebih dari itu, sudah menjadi budaya masyarakat di negeri yang plural ini. Konon sangat kental dan terkenal dengan adat ketimurannya yang santun. Kini yang nampak adalah budaya yang garang, keras, dan bringas.
Mencari Akar Masalah
Mengenai budaya kekerasan, menarik apa yang disampaikan James Q. Wilson dan George Kelling dengan teorinya “broken windows”. Wilson dan Kelling berpendapat, bahwa kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidak teraturan. Diilustrasikan dengan sebuah jendela rumah pecah dan dibiarkan saja, siapapun yang lewat cenderung menyimpulkan bahwa rumah itu tidak ada yang peduli serta rumah itu dianggap tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan akhirnya berkembang menjadi anarkhi yang menyebar ke sekitar tempat itu. (Malcolm Gladwell; 2003).
Memakai teori “broken windows” Wilson dan Kelling, untuk melihat kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan ini, dapat memberikan pengertian bahwa setiap aksi kekerasan selalu saja berbuntut dan berulang dalam waktu yang tidak lama. Sangat mudah menyebar dan cepat menjalar terjadi di daerah-daerah lain. Persis sama dengan kasus penyerangan anggota JAI, yang dimulai dari kasus Cikeusik, selang waktu tidak lama juga terjadi di Temanggung. Tidak lama kemudian kasus yang sama juga terjadi di Bangil Pasuruan, tetapi kali ini bukan JAI, melainkan Pesantren YAPI.
Ketiga kasus itu terjadi secara beruntut, dalam waktu yang tidak lama. Hal ini dapat dibaca pada dua sisi, pertama, bahwa setiap kasus kekerasan dengan motiv tertentu sepertinya mengandung magnet untuk mengundang dan memacing untuk terjadi lagi di tempat-tempat lain. Kasus penyerangan anggota JAI di Cikeusik, sepertinya mengundang untuk terjadinya kasus di Temanggung. Masih dalam kontek dan motiv yang hapir mirip, yaitu tentang perbedaan paham keagamaan, juga terjadi penyerangan pada Pesantren YAPI di Bangil Pasuruan karena dianggap oleh kelompok penyerang sebagai kelompok syiah.
Kedua, di sisi yang lain, kejadian demi kajadian kekerasan menunjukkan kalau masyarakat kita saat ini masih mudah tersulut dan latah. Inilah sebenarnya akar masalah sesungguhnya yang sedang melanda masyarakat kita. Bukan sekedar persoalan ketegasan dari aparat kepolisian sebagai penegak hukum. Berapa peleton pun yang disiagakan pihak kepolisian tidak akan berarti, kalau masyarakatnya belum memiliki kesadaran tinggi untuk menghargai perbedaan. Buktinya setiap kali aksi kekerasan terjadi, pihak kepolisian juga tidak berkutik. Berapa pun aturan dibuat, seperti Undang-Undang yang sedang digagas anggota dewan, tidak memiliki arti lebih apabila masyarakat belum memahami makna akan pentingnya toleransi. Buktinya sudah ada SKB, toh masih saja dilanggarnya. Ataupun berapa dialog yang akan di gelar, kalau masyarakat belum mecintai perdamaian, juga semakin memperkeruh keadaan.
Karena itu, untuk mengatasi budaya kekerasan yang sudah menjamur di masyarakat saat ini dibutuhkan upaya pembinaan secara intensif dan sistematis. Maka institusi yang paling tepat adalah lembaga pendidikan formal yang selama ini sudah dipercaya untuk mengemban tugas dalam mentransformasi nilai-nilai luhur bangsa. Penagakkan hukum, penyusunan peraturan, dan dialog semuanya memang dibutuhkan, namun itu dalam porsinya untuk menyelesaikan masalah-masalah kasuistik. Sedangkan untuk menyelesaikan masalah mental dan mengkonstruksi kesadaran masyarakat akan pentingnya toleransi, menghargai perbedaan, dan lebih cinta damai, pendidikan adalah pilihan keniscayaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Pemerintah harusnya, segera mengevaluasi kembali praktik transformasi kesadaran yang sudah dilakukan lembaga pendidikan kepada siswa selama ini, mengapa outputnya cenderung menghasilkan warga yang senang akan kekerasan?.
Peace Education
Kalau pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional) saat ini sedang menggalakkan pendidikan karakter, tidak ada salahnya apabila mendasarinya dengan pendidikan damai (Peace Education). Linier dengan program Majelis Umum PBB tahun 2000, yang mengeluarkan mandat kepada UNESCO untuk menetapkan bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai dan tanpa kekerasan (International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World). Aspek-aspek yang dikembangkan pada program tersebut antara lain kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).
Peace Education mengedepankan keserasian tiga pilar penting dalam implementasinya, yaitu siswa, guru dan orang tua siswa. Ketiga pilar tersebut merupakan pelaku aktif proses penanaman nilai-nilai luhur dalam membangun perdamaian. Peran guru sebagai pendidik nilai-nilai dan ilmu pengetahuan. Siswa sebagai generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan bangsa diharapkan berperan pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai dan anti kekerasan pada rekan sebaya. Sedangkan orang tua berperan sebagai mitra guru untuk mendorong, mendukung dan mengembangkan aktualisasi atau pelaksanaan budaya damai tanpa kekerasan.
Melihat aspek dan pilar yang dikembangkan, sepertinya konsep Peace Education sangat tepat untuk diterapkan di lembaga pendidikan, menyertai konsep pendidikan karakter yang mulai digalakkan oleh pemerintah. Sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah aksi kekerasan yang sudah menjadi budaya masyarakat. Sehingga di masa yang akan datang, muncul generasi yang cinta damai dan anti kekerasan. Menampilkan wajah bangsa yang sejuk dan harmoni, penuh cinta kasih.
*) Adalah dosen Universitas Sunan Giri (UNSURI) Surabaya dan Direktur Community Education Centre Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar